Nurfi Afriansyah, SKM, MScPH (Ketua Departemen Riset dan Pengembangan, Periset BRIN)
Penyakit jantung dan pembuluh darah (penyakit kardiovaskular), khususnya penyakit jantung iskemik dan stroke, adalah penyebab utama kematian di dunia dan penyumbang utama kecacatan. Studi Global Burden of Disease (GBD) 2019 di 204 negara menunjukkan bahwa penyakit kardiovaskular menjadi penyebab kematian paling tinggi di China, India, Rusia, Amerika Serikat, dan Indonesia.
Tingginya risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular (PKV) di atas berhubungan kuat dengan buruknya kualitas diet. Studi GBD 2017 di 195 negara menunjukkan, pola makan tidak sehat (dietary risks) bertanggung jawab terhadap kematian karena PKV global pada orang dewasa (52,9 persen) dalam tahun 2017. Pada 2019 PJI dan stroke termasuk dua penyebab utama kematian akibat penyakit tidak menular (PTM) terkait pola makan tidak sehat, diikuti oleh diabetes mellitus, kanker usus besar dan dubur, serta penyakit jantung hipertensi.

Dalam studi GBD, pola makan tidak sehat terdiri atas jumlah efek buruk dari 15 dietary risks: 10 jenis makanan dan zat gizi yang dikonsumsi kurang serta 5 jenis makanan dan zat gizi yang dimakan berlebihan. Sepuluh makanan dan zat gizi yang dikonsumsi kurang meliputi buah, sayuran, serealia utuh (whole grains), legum, kacang-kacangan dan biji-bijian, susu, serta serat pangan, kalsium, asam lemak omega-3 dari seafood, dan asam lemak tak jenuh ganda. Sementara lima jenis makanan dan zat gizi yang dimakan berlebihan mencakup daging merah, daging merah olahan, minuman berpemanis gula, serta natrium dan asam lemak trans.
Selama hampir satu dasawarsa (2010-2019), tiga teratas pola makan tidak sehat penyebab kematian karena PTM tetap sama. Pola makan itu ialah pola makan dengan asupan natrium yang tinggi, konsumsi serealia utuh yang rendah, dan konsumsi legum yang rendah. Legum merupakan kelompok beragam tanaman keluarga leguminosa meliputi sekitar 20.000 spesies, tetapi hanya segelintir yang telah dikembangkan; salah satu yang paling penting adalah kedelai dan olahannya, seperti tempe.
Kurangi Infeksi COVID-19

Sebuah riset menunjukkan, konsumsi bean dan legum efektif mengurangi tingkat infeksi dan angka kematian kasar akibat COVID-19. Studi ekologi pada 158 negara yang memiliki data pola makan nasional dari Global Dietary Databases PBB dan data statistik COVID-19 dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menemukan bahwa negara-negara yang banyak mengonsumsi bean dan legum secara signifikan mempunyai tingkat infeksi kasar akibat COVID-19 yang lebih rendah. Studi itu juga menunjukkan, negara-negara yang banyak makan bean dan legum serta buah memiliki angka kematian kasar karena COVID-19 yang lebih rendah, sedangkan negara-negara yang banyak minum minuman manis mempunyai angka kematian kasar akibat COVID-19 yang lebih tinggi [Abdulah dan Hassan, 2020].
Infeksi virus COVID-19 dapat mengubah sistem ekologi kompleks mikrobioma, yang memengaruhi fisiologi gastrointestinal (lambung dan usus) dan keseimbangan imun. Sebagaimana diketahui, di samping gejala pernapasan, manifestasi gastro-intestinal seperti mual, muntah, sakit perut, dan diare relatif umum pula pada infeksi SARS-CoV-2.
Riset lain, yang dilaporkan Salazar-Robles et al. (2021), meneliti hubungan frekuensi konsumsi kelompok makanan tertentu dan keparahan gejala COVID-19 pada pasien dewasa rawat jalan yang diduga terinfeksi COVID-19. Riset yang dilakukan terhadap 236 pasien yang mengunjungi klinik rawat jalan untuk evaluasi terkait COVID-19 di wilayah Alvaro Obregon, Mexico City, menunjukkan bahwa pada kelompok hasil tes positif COVID-19, risiko keparahan gejala yang tinggi menurun dengan konsumsi kelompok ‘legum’ serta ‘grain, roti dan sereal’ sebagai kontributor paling signifikan. Sementara pada kelompok hasil tes negatif COVID-19, risiko keparahan gejala yang tinggi meningkat dengan kebiasaan asupan ‘lemak dan minyak’ serta konsumsi kelompok ‘paprika dan saus’.
Legum ialah kelompok makanan yang paling banyak dikonsumsi di antara populasi riset itu (yang tinggal di Meksiko) dan menyediakan protein dan serat pangan. Legum merupakan sumber asam amino rantai-bercabang yang baik, yang meningkat-kan kadar imunoglobulin usus, yang memperbaiki penghambat usus. Adapun studi kohor prospektif (yang dirancang untuk meneliti pola makan dan gaya hidup Mediterania) menemukan, legum memiliki efek perlindungan yang signifikan terhadap tingkat keparahan COVID-19 [Perez-Araluce et al., 2022].
Tempe

Pola makan kita berperan besar dalam menentukan jenis mikroba apa yang hidup di usus kita. Pola makan kaya pangan nabati berserat tinggi dengan banyak legum, grain utuh, sayuran dan buah tampak mendukung pertumbuhan dan pemeliharaan mikroba yang bermanfaat. Mikroba tertentu yang membantu memecah serat menjadi asam lemak rantai pendek, sudah terbukti merangsang aktivitas sel imun.
Serat tersebut kadang-kadang disebut prebiotik karena memberi makan mikroba. Oleh sebab itu, pola makan yang mengandung makanan probiotik dan prebiotik dapat bermanfaat. Makanan probiotik mengandung bakteri hidup yang bermanfaat, sedangkan makanan prebiotik mengandung serat dan oligosakarida yang memberi makan dan memelihara koloni bakteri yang sehat. Makanan probiotik termasuk tempe (kedelai fermentasi), sayuran fermentasi, yoghurt dengan kultur aktif hidup. Sementara makanan prebiotik termasuk bawang merah, bawang putih, daun bawang, pisang yang kurang matang, dan rumput laut.
Tampaknya, pesan 1 dari “5 Ways to Stay Healthy” yang di-share Direktur Jenderal WHO 17 hari pasca-penetapan pandemi COVID-19 sebagai pandemi global di kanal YouTube WHO (28 Maret 2020) hingga kini masih relevan. Pesan tersebut berbunyi eat a healthy and nutritious diet, which helps your immune system to function properly.