Dr. Sudikno, SKM, MKM (Ketua Bidang Komunikasi dan Teknologi Informatika, DPP PERSAGI)
Awal bulan ini, tepatnya tanggal 6/6, kita baru saja memperingati Hari Tempe Nasional. Dikenal sebagai makanan sehari-hari, yang bisa dikonsumsi sebagai lauk atau snack yang enak dinikmati setiap saat, tempe tak mengenal kelas sosial (dikonsumsi masyarakat kelas bawah hingga elit) dan memiliki sejarah panjang. Menurut Ahnan-Winarno dkk. (2020), tempe adalah makanan fermentasi yang terbuat dari kedelai dan merupakan sumber protein fungsional yang bergizi tinggi, terjangkau dan berkelanjutan, serta diterima secara luas.
Tempe sudah dikenal masyarakat Jawa lebih dari empat abad yang lalu. Kata “tempe” ditemukan dalam manuskrip Serat Centhini Jilid 3 (1814-1823), yang menggambarkan perjalanan Mas Cebolang dari Candi Prambanan menuju Pajang dan dijamu makan siang oleh Pangeran Bayat dengan salah satu lauknya adalah “Brambang Jae Santen Tempe”, ketika singgah di Dusun Tembayat, Kabupaten Klaten. Tempe, yang awalnya dibuat dari kedelai hitam, dikembangkan di Jawa sesuai dengan daerahnya: ada tempe Jogja, tempe Banyumas, tempe Malang, dan tempe Pekalongan.
Tempe muncul saat tanam paksa tahun 1830-1870-an. Pada masa penjajahan Belanda itu, tempe menjadi penyelamat masyarakat yang harus bekerja keras. Sejak tahun 1946, tempe mulai merambah Eropa, ketika imigran asal Indonesia yang menetap di Belanda memperkenalkan tempe kepada masyarakat Eropa lain, seperti Belgia dan Jerman. Tempe telah diperkenalkan dan dikonsumsi di benua Asia, Afrika, Eropa, Amerika Utara: di Jepang (1912), India (1936), Suriname (1936), Amerika Serikat (1958), dan Zambia (1971) [Shurtleff dan Aoyagi, 2020].

Konsumsi tempe di masyarakat Indonesia cukup tinggi. Rata-rata konsumsi tempe di Indonesia adalah 10,1—33,8 kg/kapita/tahun, berkontribusi hingga 60 persen dari total konsumsi kedelai nasional [Astawan et al., 2018; Astawan dkk, 2017]. Hasil Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) Indonesia 2014 menunjukkan bahwa rerata konsumsi kacang-kacangan dan olahannya penduduk Indonesia sebesar 56,7 gram per orang per hari yang didominasi kedelai dan olahannya, termasuk tempe. Rerata konsumsi kedelai dan olahannya sebesar 52,7 gram, yang menyumbang 92,9 persen dari rerata berat total kacang-kacangan yang dikonsumsi penduduk Indonesia. Kedelai dan olahannya tampak dikonsumsi oleh semua kelompok umur dan jumlah yang dikonsumsi paling tinggi dibandingkan jenis kacang-kacangan lainnya. Hasil SKMI juga menunjukkan proporsi penduduk tertinggi yang mengonsumsi kacang-kacangan dan olahannya terlihat pada kedelai dan olahannya (47,4%), diikuti oleh kacang tanah dan olahannya (11,2%).
Menurut Shurtleff dan Aoyagi (2020), tempe merupakan salah satu makanan asli Indonesia, yang telah menjadi sumber utama protein lebih dari tiga abad lalu. Menurut Babu dkk (2009) dan Nout & Kiers (2005), selain sebagai sumber protein, tempe mengandung pula vitamin B12, dan senyawa bioaktif dalam jumlah yang signifikan. Tabel Komposisi Pangan Indonesia (TKPI) 2017 menunjukkan, kandungan zat gizi makro dalam 100 gram tempe segar yang dijual di pasaran sebagai berikut: energi 150 kkal, protein 14 gram, lemak 7,7 gram, karbohidrat 9,1 gram, dan serat 1,4 gram. Sementara bila digoreng, kandungan zat gizi makro tempe mengalami peningkatan: energi 336 kkal, protein 20 gram, lemak 28 gram, karbohidrat 7,8 gram, dan serat 3,4 gram.
Di samping mengandung zat gizi makro, tempe pun mengandung zat mineral yang sangat dibutuhkan tubuh. Menurut TKPI (2017), setiap 100 gram tempe segar di pasaran terkandung: kalsium 517 mg, fosfor 202 mg, zat besi 1,5 mg, natrium 7 mg, kalium 165,9 mg, tembaga 0,4 mg, dan seng 1,2 mg. Jika tempe tersebut digoreng zat gizi mineral meningkat, kecuali kandungan kalsium. Otoritas pangan, pertanian, dan kesehatan AS (Food and Drug Administration, 2019; U.S. Department of Agriculture, 2019; National Institute of Health, 2019) juga menambahkan, tempe dapat menjadi sumber zat besi yang baik atau sangat baik, mengandung 10,6—28,69 persen dari Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan.
Dari studi literatur sudah banyak bukti terkait dengan manfaat tempe. Ahnan-Winarno dkk (2020), menyimpulkan bahwa ada cukup bukti dalam literatur yang mendukung fermentasi tempe sebagai teknologi pengolahan makanan yang murah, meningkatkan kesehatan, dan berkelanjutan untuk menghasilkan makanan kaya protein dari berbagai kacang-kacangan, polong-polongan, dan biji-bijian.

Studi kuasi-eksperimental yang dilakukan Afifah dkk (2020) menunjukkan, pemberian tempe gembus 103 dan 206 gram/hari, yang terbuat dari dadih susu kedelai, pada wanita dengan hiperlipidemia dapat menurunkan kadar kolesterol low-density lipoprotein (LDL) dan kolesterol total, dan meningkatkan kolesterol high-density lipoprotein (HDL). Penelitian Ansarullah dkk (2017), yang melakukan suplementasi minuman tempe kecambah (105 g per hari per subjek, dikonsumsi dalam tiga dosis per hari) dapat menurunkan tekanan darah sistolik. Fermentasi tempe telah dilaporkan pula dapat meningkatkan kandungan isoflavon, yang berkaitan dengan perbaikan hiperlipidemia [Chen dkk, 2017; Chen dkk, 2014; Eslami & Shidfar, 2019; Kohno, 2017], faktor risiko penyakit kardiovaskular [Nelson, 2013; Nordestgaard dkk, 2009; O’Keefe & Bell, 2007]. Penelitian kuasi-eksperimental Novianti dkk (2019) membuktikan bahwa pemberian susu tempe 100 g/hari dan suplementasi zat besi selama 30 hari pada wanita hamil trimester ketiga dapat meningkatkan kadar hemoglobin serum serta penyerapan protein dan zat besi dibandingkan dengan suplementasi zat besi saja. Beberapa penelitian yang masih dalam proses tahap uji coba pun mengindikasikan manfaat tempe akan lebih banyak lagi.
Seiring perkembangan zaman dan pertambahan jumlah penduduk di Indonesia, kebutuhan kedelai yang menjadi sumber utama pembuatan tempe semakin meningkat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor kedelai sepanjang semester-I tahun 2020 mencapai lebih dari 1,2 juta ton. Sementara kebutuhan kedelai secara nasional mencapai lebih dari 2,5 juta ton per tahun. Produksi dalam negeri kurang dari 1 juta ton atau hanya sekitar 800 ribu ton per tahun. Sehingga bila terjadi kenaikan harga kedelai dari negara produsen akan menimbulkan gejolak di masyarakat. Di masa mendatang diharapkan pemerintah, melalui kementerian terkait bisa memodifikasi lahan pertanian untuk dapat menghasilkan kedelai yang mencukupi bagi kebutuhan masyarakat, minimal mengurangi impor kedelai. Dengan demikian diharapkan akan tercipta kestabilan harga, sehingga masyarakat mendapatkan tempe dengan mudah dan harga murah.